Jumat

Mengapa Kita Hidup?

Melihat layangan yang putus dan jatuh dari ketinggian, aku sedih, kasihan. Aku mendekatinya. Ah, tulang-tulangnya patah sudah. Badannya hancur. Nafasnya terputus-putus. Sesaat lagi, ia akan meninggalkan dunia fana ini.

"Sahabatku, apa yang dapat kulakukan bagimu." Aku tahu, tidak sesuatu apapun yang dapat kulakukan baginya.Ia menggunakan tenaganya yang masih tersisa dan menoleh ke atas, "Terima Kasih teman...Terima Kasih untuk tawaranmu...tetapi aku tak butuh sesuatu apapun"

Aku tak dapat menahan air mataku. Aku menangis terisak-isak, "Kasihan kawan, kau belum hidup sepenuhnya, dan sekarang..." Ia tersenyum, "kasihan? kasihan kau katakan?....jangan kawan, ...jangan mengasihani aku...aku sudah cukup hidup...aku sudah pernah melayang begitu tinggi...aku sangat beruntung. Aku telah menjalani hidupku...hidupku sebagai layangan..sebagai layangan, aku telah mencapai kesempurnaan hidupku...biarkan tulang tulang ku menyatu kembali dengan tanah..egitu pula badanku yang sudah hancur ini...memang harus demikian..dan sekali lagi rohku akan melayang-layang,...menyatu kembali dengan semesta...dan sesungguhnya, kendati hidupku akan berakhir...,kehidupan sendiri akan berjalan terus...,mengalir terus...mungkin pada suatu ketika nanti, kita akan bertemu lagi...sampai jumpa kawanku..."

Suaranya semakin lemah, semakin lemah...aku memeluk dia, memeluk tulang-tulangnya yang sudah patah, memeluk badannya yang sudah hancur, dan dalam pelukanku, ia menghembuskan nafas terakhir. Tiba-tiba, aku menyadari kebenaran kata-katanya. Ia benar-ia telah hidup sepenuhnya. ia telah menyentuh ketinggian yang mungkin merupakan impian setiap layangan. tiba-tiba, timbul keinginan untuk merayakan kepergiannya.

Aku mencium dia untuk terakhir kali dan melepaskannya, sehingga ia dapat segera menyatu dengan tanah yang melahirkannya. Aku tahu bahwa rohnya sudah menyatu dengan semesta. aku sadar bahwa ia tidak perlu ditangisi.

Di pinggir jalan sana, aku melihat seorang penjual layangan. Aku mendatangi dia, "kawanku, masih banyakkah layangan yang kau miliki?" Ia menjawab,"Masih, Pak. masih 20-an"

Aku membeli semuanya untuk dibagikan kepada anak anak kampung yang memang dari tadi sudah mengerumuni si penjual. Aku ingin layangan-layangan itu pun mencicipi ketinggian sama yang pernah dicicipi oleh seorang kawan mereka.

Aneh sekali, duapuluh layangan baru aku beli itu malah berontak, " Apa yang hendak kau lakukan? Menyerahkan kami kepada anak-anak kampung itu, sehingga mereka bisa bermain-main dengan kami? Lalu kami melayang-layang untuk sesaat, terputus dan jatuh dari ketinggian?


Kau sungguh berdarah dingin! kau seorang pembunuh!

Biarkan kamu tetap dipajang oleh si penjual layangan. Biarkan kami menikmati hidup. kembalikan kami..tolong, demi Tuhan..."


Aku bingung...ada yang jatuh dari ketinggian, dan tidak menyesal, tapi malah menganggap dirinya sudah cukup "hidup". Ada yang takut akan ketinggian, dan berusaha "hidup" dengan cara menghindarinya. mana yang benar?


by_anand Khrisna
Jangan lupa di like Gan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klik here and you will pay

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
UA-86117584-1